Di balik lebatnya hutan tropis dan jalur tanah merah yang jarang dilalui kendaraan, tersembunyi sebuah lubang besar yang membelah bumi. Bukan gua alami, melainkan struktur buatan manusia—bunker peninggalan masa pendudukan Jepang yang menyimpan jejak sejarah kelam. Untuk mencapai lokasi ini, pengunjung harus melewati jalur setapak berbatu dan menembus kawasan hutan yang rimbun. Inilah yang membuat kunjungan ke Coa Sako bukan hanya perjalanan sejarah, tapi juga petualangan alam yang menantang adrenalin.
Namun justru di dalam kesunyian itulah daya tarik Coa Sako terasa kuat. Bagi sebagian orang, Coa Sako adalah tempat untuk memahami masa lalu. Bagi yang lain, ini adalah lokasi uji nyali yang menyuguhkan kombinasi antara kisah perang, suasana mistis, dan keindahan liar khas Bengkulu.
Sejarah Benteng Coa Sako
Jepang dan Sumatra: Strategi Bertahan
Ketika Jepang mulai menguasai Indonesia pada awal 1942, mereka menyadari pentingnya Sumatra sebagai basis logistik dan pertahanan dari serangan Sekutu. Di berbagai titik, Jepang membangun benteng pertahanan bawah tanah, termasuk di kawasan hutan Bengkulu Utara.
Benteng Coa Sako diduga kuat dibangun sekitar tahun 1943–1944, sebagai tempat persembunyian sekaligus jalur logistik militer. Struktur bangunannya mengarah ke dalam tanah, dilengkapi lorong-lorong panjang, ruang jaga, gudang senjata, dan ventilasi darurat.
Bunker ini jadi semacam benteng terakhir bagi pasukan Jepang saat mereka mulai terdesak. Bahkan menurut cerita warga, banyak tentara Jepang yang bersembunyi dan akhirnya tewas di dalamnya, entah karena kelaparan, bunuh diri, atau serangan musuh.
Struktur Bunker dan Lorong Rahasia
Benteng Coa Sako bukan bangunan biasa. Ia seperti labirin:
-
Pintu masuk menyerupai gua besar, disamarkan dengan vegetasi
-
Lorong utama terbuat dari beton tebal, selebar 1,5 meter
-
Ruang cabang di sisi-sisi lorong: tempat penyimpanan senjata, logistik, atau persembunyian
-
Ventilasi udara dari bambu atau pipa besi (sebagian sudah rusak)
-
Dinding basah dan berlumut menambah suasana mencekam
-
Tangga-tangga sempit yang menuju ke level bawah tanah lebih dalam
Saat masuk ke dalam, pencahayaan hampir nihil. Suara langkah kaki menggema. Lantainya licin. Tapi justru dari kegelapan inilah kamu bisa membayangkan betapa genting dan kelamnya masa itu.
Suasana dan Aura Misteri
Begitu kamu melangkah masuk ke dalam bunker, udara langsung terasa berubah. Heningnya bukan sekadar sunyi—tapi seperti sunyi yang menekan dada. Dinding beton yang dingin, aroma lembap khas ruang bawah tanah, dan pencahayaan yang remang-remang menciptakan suasana yang tak biasa. Seolah-olah tempat ini masih menyimpan jejak masa lalu yang belum sepenuhnya hilang.
Tak heran jika banyak orang menyebut bunker ini bukan hanya bersejarah, tapi juga penuh aura spiritual dan misterius.
Warga sekitar menyebut bahwa tempat ini “berpenghuni” secara gaib. Beberapa pengunjung bahkan pernah mengalami kejadian-kejadian aneh saat berada di dalamnya:
-
Mendengar langkah kaki di lorong, padahal tak ada siapa pun di sekitar
-
Melihat bayangan samar yang melintas cepat di ujung mata
-
Alat elektronik seperti kamera atau ponsel tiba-tiba mati atau error tanpa sebab
-
Rasa pusing, merinding, atau sesak saat berdiri di titik tertentu
Namun demikian, terlepas dari kisah mistis yang berkembang, bunker ini tetaplah situs sejarah yang penting. Energi berat yang menyelimuti tempat ini barangkali bukan semata karena mistis—tetapi karena beban sejarah yang pernah berlangsung di dalamnya.
Karena itu, siapa pun yang datang ke sini sebaiknya tidak hanya membawa rasa penasaran, tapi juga rasa hormat. Hormat kepada mereka yang pernah hidup dan berjuang di masa lalu, hormat kepada sejarah yang ditinggalkan, dan hormat pada alam yang menjaga tempat ini hingga kini.
Lokasi dan Akses
Alamat: Desa Coa Sako, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu
Google Maps: https://maps.app.goo.gl/LJHB5FQKeMUsq6Ew7
Akses dari pusat kota:
-
Dari Kota Bengkulu: ± 3 jam perjalanan via jalur darat
-
Dari Arga Makmur: ± 1 jam
-
Medan jalan sebagian aspal, sebagian lagi berbatu dan tanah merah
Sebaiknya gunakan kendaraan pribadi atau ikut rombongan komunitas pecinta sejarah/petualang karena belum tersedia transportasi umum langsung ke lokasi.
Tabel Informasi Pengunjung
Keterangan | Rincian |
---|---|
Tiket Masuk | Gratis (donasi sukarela) |
Parkir Kendaraan | Rp. 3.000 – Rp. 5.000 |
Pemandu Lokal | Rp. 50.000 – Rp. 100.000 (opsional) |
Waktu Kunjungan | 08.00 – 17.00 WIB |
Rekomendasi Waktu | Pagi hari (cuaca cerah) |
Catatan: Tidak disarankan datang saat hujan, karena jalur menjadi sangat licin dan berbahaya.
Aktivitas yang Bisa Dilakukan
-
Eksplorasi lorong dan ruang bunker
-
Fotografi bertema sejarah/misteri
-
Diskusi sejarah dengan pemandu lokal
-
Membuat dokumentasi video/podcast sejarah
-
Camping ringan di area sekitar (dengan izin warga)
Tips Penting Sebelum Berkunjung
-
Bawa senter atau headlamp – kondisi di dalam sangat gelap
-
Gunakan sepatu trekking anti selip – medan berlumpur dan licin
-
Ajak pemandu lokal – untuk keselamatan dan penjelasan sejarah
-
Jangan datang sendiri – selalu dalam rombongan, minimal 3 orang
-
Bawa minum dan snack ringan – tidak ada warung di sekitar
-
Hormati tempat – tidak bercanda berlebihan, tidak meninggalkan sampah, dan jangan ambil benda apapun dari dalam bunker
Bunker Lain di Bengkulu?
Selain Benteng Coa Sako, beberapa bunker peninggalan Jepang juga tersebar di Bengkulu, seperti:
-
Bunker di sekitar Pantai Panjang
-
Terowongan bawah tanah dekat Benteng Marlborough
-
Bunker di kawasan Curup (Rejang Lebong)
Namun Benteng Coa Sako adalah salah satu yang paling besar dan paling lengkap struktur dalamnya.
Penutup: Dalam Gelap, Sejarah Tetap Menyala
Benteng Coa Sako mungkin sunyi.
Tapi dalam sunyinya, tersimpan suara masa lalu yang tak ingin dilupakan.
Dari dinding-dinding gelap itu, kita belajar bahwa perang bukan hanya soal senjata,
Tapi tentang ketakutan, strategi, dan kehancuran yang menunggu dalam senyap.
Kita datang bukan untuk menantang kegelapan,
Tapi untuk menerangi sejarah, agar tak lagi tersesat dalam lorong waktu yang dilupakan.